Skip to main content

Pria yang Teriris Karena Sepotong Roti

Matahari masih menggantung di punggung bukit, dia mengeluh kelaparan. Betapa anehnya, setahun ini melewati begitu banyak hari dengan perut kosong. 

Kadangkala harus pulang tanpa membawa sepeser uang hasil dari mengemis. Kemudian terpaksa harus mengganjal perut dengan sisa air kemarin. Keadaan ini membuatnya terbiasa, seringkali berupaya menghibur diri untuk melupakan situasi yang dihadapinya. Meski jarang berhasil. 

Salah satu nyanyian pelipurnya berbunyi; "Tanah airku Indonesia, disini tanah beli, disini air beli. Tanah airku Indonesia, disini kencing bayar, disini makan bayar,"

Dalam lamunannya, dia bingung pada siapa harus mengadu dan meminta pertolongan. Mengetuk pintu rumah pun tak sanggup, sebab untuk melakukannya diperlukan keberanian. Modal berani saja mungkin tak cukup. Sedangkan dia? membayangkan saja tak sanggup, apalagi melakukan.

Beberapa kali matanya hanya mencuri pandang ke sebuah restoran. Pengendara yang melintasinya menimbang-nimbang untuk memberi receh. Bagus kalau pengendara itu masih melirik ke dia.

Seketika itu, gagasan melintas di kepalanya. "Andai saja aku berani mengetuk pintu rumah orang,". Kenyataannya, gagasan inilah yang paling mungkin demi sesuap nasi.

Dengan penuh gugup, ia mendekati sebuah rumah yang menyerupai istana. Tangannya gemetar dan tubuhnya dibasahi keringat. Hatinya terbelah antara bertahan hidup atau menanggung malu bercampur takut.

Mengetuk pintu atau tidak; penuh kebingungan dan jantungnya berdegup kencang, lidahnya kelu. Pada akhirnya ia harus mengetuk pintu rumah itu. "tok tok tok," Beberapa saat kemudian muncul seorang perempuan tua dari balik pintu. Dengan suara bergetar dia berkata pada perempuan tua itu, "saya... saya kelaparan dan tak punya uang... Kalau boleh..."

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, perempuan tua itu telah mengerti maksudnya. "Sebentar, masuklah." katanya sambil berbalik masuk ke dalam rumah.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya perempuan tua itu kembali dengan sebelah tangannya memegang mangkuk dan tangannya yang lain memegang roti. Pada saat itu juga lah dia mendengar teriakan seorang perempuan muda dari dalam rumah "Ibu, aku sudah sering bilang, lebih baik lemparkan saja roti itu pada anjing daripada diberikan ke orang-orang tak berguna itu..."

Ketika si perempuan tua itu sampai di depan pintu membawa semangkuk sup dan sepotong roti, lelaki itu telah pergi. Perempuan tua itu melangkah keluar melintasi pintu yang setengah terbuka, mencari-cari ke segala arah. Dilihatnya lelaki yang tadi telah sampai diujung lorong.

Dibenaknya terlintas; orang yang perutnya selalu kenyang pasti tidak tahu apa-apa tentang lapar. *