Berantakan. Pakaiannya kumal bak preman pasar, celananya di linting selutut, kulitnya hitam, ototnya kaku, rambutnya plontos. Dua tahun yang lalu, ia nekat meninggalkan istri dan anak perempuannya yang masih duduk di bangku SD. Pemicunya, utang. Mula-mula ke Ternate, lalu ke Merauke, setelah itu ke Manado sebelum akhirnya menjejakkan kaki di Kota Mamuju.
Sore itu, menjelang magrib. Lembayung jingga masih menggantung di punggung Pantai Manakarra. Pemandangan ini membentuk oase yang membuat siapa saja tak mampu lepas dari perangkapnya, terutama bagi para penggemar senja.
Tak jauh dari lokasi, sebuah gerobak bertengger di badan Jalan Ahmad Yani, Mamuju. Pemiliknya adalah Pak Bakio. Jika ditilik sekilas, jurang sosial antara gerobak dan arsitektur ruang publik di situ, menonjol dalam.
Gerobak itu keropos dan teralinya karatan. Tidak ada roda pangayuh yang berpaut pada lingkaran gir seperti yang biasa kita temukan pada sepeda ataupun becak. Jadi, untuk menjalankannya harus disorong.
Diatas gerobak memuat beragam bunga yang melendeh pada papan penyanggah kayu. Lantaran beban yang terlampau berat, bannya jadi kempis. Menyiasati itu, sebagian bunga di dudukkan berjejer persis di jalur pedestrian. Diantara bunga itu ada bunga asalea; jambu thailand; pancawarna dan cemara lilin. Semua terbungkus polybag seukuran kaleng susu. Hanya pucuknya yang kelihatan.
Ibaratnya, bunga laksana harapan yang memuai hidup. Di mata pak Bakio pun demikian. Baginya, menjajakan bunga adalah secercah harapan untuk melunasi utang dan menafkahi keluarga. Itu pun kalau lagi hoki. "Jual bunga biar bisa bayar utang-utang. Di Jawa saya banyak utang, dek," kata pria yang mengaku baru tiga bulan di Mamuju ini.
Ceritanya panjang sekali. Dulunya, sejak duduk di bangku SMP tahun 1998, ia telah menyukai bunga. Ini tergambar dari kepiawaiannya membedakan nama dan jenisnya. "Yang ini cemara rentes. Kalau yang di sana itu cemara pentris," ujarnya mantap, sambil menunjuk bunga yang dimaksud. Kalau awam tentang bunga akan pusing membedakan, soalnya mirip.
Semua dijual dengan harga bervariasi. Mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Namun, saat ditanyai berapa penghasilannya, Pak Bakio enggan menyebutkan. Hanya raut wajah murung yang tampak dari parasnya. "Kalau pelanggan nawar murah, kadang-kadang dijual murah juga," tandasnya mengalihkan pertanyaan.
Betul-betul, pendulum hidup yang tak menentu. Lima tahun hidup diperantauan dan jauh dari sanak keluarga. Tahun 2017 adalah tahun yang paling berat baginya. Sebab, sebagian besar penghasilannya disisihkan untuk melunasi utang-utang yang sudah mengendap lama.
Lanjut cerita, rupanya sudah lama sekali ia mendambakan hidup layaknya orang yang berkecukupan. Bisa menyekolahkan anak tinggi-tinggi. "Kasihan anak saya jauh dari bapaknya,".
Tak putus semangat, dalam doanya ia seringkali harap-harap cemas sepanjang malam. Memikirkan nasib selanjutnya. Besok makan apa, besok makan apa, dan besok anak saya makan apa. Demikian yang terlintas di pikiran pria kelahiran Jawa Timur ini.
Macam-macam peristiwa sudah dialami. Pernah suatu ketika, ia mendapat teguran dari Satpol PP karena tidak punya izin mangkal berjualan di jalur pedestrian. Katanya, itu dianggap mengganggu hak pejalan kaki. "Saya diusir, disuruh pindah," kenangnya sambil menirukan gaya Satpol PP yang mendepak gerobaknya. Namun begitu, ia gamang tetap berjualan di trotoar.
Rona jingga yang menghiasi sore sudah tenggelam. Sementara dari kejauhan, samar-samar terdengar muazin mengalunkan azan lewat pengeras suara. Seolah dimana ada penderitaan disitu pula azan berkumandan. *