Frasa tentang "sepiring berdua" sepertinya pas jika dilekatkan pada momen spiritual kali ini. Betapa tidak? mendengar kisah romantis Nabi Muhammad dalam semarak maulid tentu membuat hati siapa saja terkesima sekaligus berbunga-bunga.
Minggu malam (17/12/17), langit yang disapu oleh gumpalan awan hitam menandakan musim hujan dipertengahan Desember ingin menyapa Kota Mamuju. Cuaca itu membuat para pengendara yang melintasi Jalan Sultan Hasanuddin tergesa-gesa mengebut gas. Sesekali ada yang berhenti sekadar mematuhi rambu lalulintas.
Seperti peribahasa, adakalanya kering dan adakalanya basah. Benar juga, sesaat kemudian gerimis tiba-tiba menyergap aspal. Di kanan dan kiri berjejer bangunan bisu. Tampak seluruh pintu rumah menutup rapat, takut kalau ada angin kencang menggemuruh.
Berbeda dengan bangunan lainnya, salah satu rumah yang letaknya persis di ujung jalan itu pintunya justru dibiarkan membuka. Papan alamat seukuran pembalut wanita menempel di salah satu tiang yang menjadi penyanggah balkonnya. Disitu tertera 107. Jika menoleh sedikit ke atas, tampak coretan kuas bertuliskan Pojok Baca.
Meski hujan mengguyur, satu per satu langkah kaki datang dari kejauhan memasuki rumah itu. Pandangan mata tersedot pada pakaian mereka bercorak muslim; perempuan mengenakan jilbab yang disampirkan ke bahu, sedangkan pria berbaju koko lengkap dengan peci.
Diantara mereka ada Imas, Eril, Intan, Paing, Iksan, Nisa, Isti, Mita serta beberapa orang lainnya yang datang belakangan. Mereka adalah para relawan literasi yang ingin menghidupkan kesadaran spiritual saat kecacatan moral tumbuh subur.
Ibarat adagium, dalam dimensi spiritual melekat nilai sosial. Wajar saja jika peringatan hari lahir Muhammad menjadi wahana ekspresi untuk menghidupkan kesadaran sosial itu, tatkala merebaknya ujaran kebencian atau rusaknya semangat toleransi. Setidaknya tafsir ini juga tergambar pada konstruksi hidangan tirik, semacam telur yang ditancap menggantung ke batang pisang.
Di dalam, mereka mengambil posisi duduk tak beraturan, berdesak-desakan di ruangan yang berukuran 4x6 meter. Berbaur dan saling bercakap-cakap menanyakan kabar. Nuansa kemanusiaan dan solidaritas sangat kental terlihat kala mereka berbagi tugas mendandani se-isi ruangan.
Setelah memastikan semua sudah beres, seorang perempuan sontak berbicara menimpali keriuhan dan meminta kami untuk diam. Lalu sedikit memberi pengantar, "Tema maulid kita kali ini meneladani romantisme Muhammad. Dan di pandu oleh ustaz Udin," ujarnya mantap.
Setiap orang pasti ingin tahu kisah-kisah romantis Muhammad. Dan itu menambah gairah untuk menyimak setiap narasi yang akan disampaikan. Seolah tak rela kalau ada cerita atau kutipan ayat yang ketinggalan untuk dicatat.
Duduk disebelahnya, ustaz itu mulai bercerita. Mula-mula di meja makan. "Muhammad itu hanya punya satu piring dan satu gelas. Menjadi punya 'kita' kalau sudah di meja makan sama Aisyah," katanya.
Ini bukan isapan jempol. Memang patut disayangkan belum ada kamera atau tustel untuk sekadar mengabadikan momen itu dan menjadi bukti sejarah. Tapi hadis dalam riwayat Bukhori sepertinya sudah cukup membuktikan, meski kurang memuaskan hasrat ingin tahu.
Tapi satu hal yang menarik dari kisah ini, ketika pemuda yang menyebut dirinya zaman now mengabadikan momen romatis sepiring berdua bersama pasangan, Muhammad justru jauh lebih dulu melakukan. Tidak banyak yang bisa membayangkan.
Lain cerita saat di kamar mandi. "Kalau Dia (Muhammad SAW) sedang dikamar mandi, Aisyah suka menyisir rambutnya," kata ustaz yang menjadi pemandu tausiyah. Sulit membayangkan paras rambut Muhammad ketika disisir oleh Aisyah.
Hingga di penghujung acara, banyak yang melepas senyum sembari membayangkan kisah-kisah itu. Ada yang tertawa penuh sentimen sambil melirik tajam. Tapi apa yang bisa kita pelajari dari sini? Muhammad adalah seorang manusia berdaya pikat tinggi. Bukan hanya dalam agama, tapi juga dalam relasi lawan jenis.
Kelahiran sosoknya yang diperingati setiap 12 Rabiul Awal tentu menjadi perenungan batin untuk mentasbihkan figur tunggal yang mengisi setiap pikiran, hati dan pandangan hidup. Sekurang-kurangnya itu menjadi harapan. Tak ubahnya berteduh di bawah pohon apel, lalu berharap pada buahnya "jatuhi aku", itu lah harapan.
Malam makin merangkak gelap. Suasana hujan lamat-lamat menyurut reda. Gemercik air yang menetes dari atap mulai mengendur. Angin sepoi-sepoi yang menghembus pelan menjadi cambuk agar segera menyesap kopi. *
Minggu malam (17/12/17), langit yang disapu oleh gumpalan awan hitam menandakan musim hujan dipertengahan Desember ingin menyapa Kota Mamuju. Cuaca itu membuat para pengendara yang melintasi Jalan Sultan Hasanuddin tergesa-gesa mengebut gas. Sesekali ada yang berhenti sekadar mematuhi rambu lalulintas.
Seperti peribahasa, adakalanya kering dan adakalanya basah. Benar juga, sesaat kemudian gerimis tiba-tiba menyergap aspal. Di kanan dan kiri berjejer bangunan bisu. Tampak seluruh pintu rumah menutup rapat, takut kalau ada angin kencang menggemuruh.
Berbeda dengan bangunan lainnya, salah satu rumah yang letaknya persis di ujung jalan itu pintunya justru dibiarkan membuka. Papan alamat seukuran pembalut wanita menempel di salah satu tiang yang menjadi penyanggah balkonnya. Disitu tertera 107. Jika menoleh sedikit ke atas, tampak coretan kuas bertuliskan Pojok Baca.
Meski hujan mengguyur, satu per satu langkah kaki datang dari kejauhan memasuki rumah itu. Pandangan mata tersedot pada pakaian mereka bercorak muslim; perempuan mengenakan jilbab yang disampirkan ke bahu, sedangkan pria berbaju koko lengkap dengan peci.
Diantara mereka ada Imas, Eril, Intan, Paing, Iksan, Nisa, Isti, Mita serta beberapa orang lainnya yang datang belakangan. Mereka adalah para relawan literasi yang ingin menghidupkan kesadaran spiritual saat kecacatan moral tumbuh subur.
Ibarat adagium, dalam dimensi spiritual melekat nilai sosial. Wajar saja jika peringatan hari lahir Muhammad menjadi wahana ekspresi untuk menghidupkan kesadaran sosial itu, tatkala merebaknya ujaran kebencian atau rusaknya semangat toleransi. Setidaknya tafsir ini juga tergambar pada konstruksi hidangan tirik, semacam telur yang ditancap menggantung ke batang pisang.
Di dalam, mereka mengambil posisi duduk tak beraturan, berdesak-desakan di ruangan yang berukuran 4x6 meter. Berbaur dan saling bercakap-cakap menanyakan kabar. Nuansa kemanusiaan dan solidaritas sangat kental terlihat kala mereka berbagi tugas mendandani se-isi ruangan.
Setelah memastikan semua sudah beres, seorang perempuan sontak berbicara menimpali keriuhan dan meminta kami untuk diam. Lalu sedikit memberi pengantar, "Tema maulid kita kali ini meneladani romantisme Muhammad. Dan di pandu oleh ustaz Udin," ujarnya mantap.
Setiap orang pasti ingin tahu kisah-kisah romantis Muhammad. Dan itu menambah gairah untuk menyimak setiap narasi yang akan disampaikan. Seolah tak rela kalau ada cerita atau kutipan ayat yang ketinggalan untuk dicatat.
Duduk disebelahnya, ustaz itu mulai bercerita. Mula-mula di meja makan. "Muhammad itu hanya punya satu piring dan satu gelas. Menjadi punya 'kita' kalau sudah di meja makan sama Aisyah," katanya.
Ini bukan isapan jempol. Memang patut disayangkan belum ada kamera atau tustel untuk sekadar mengabadikan momen itu dan menjadi bukti sejarah. Tapi hadis dalam riwayat Bukhori sepertinya sudah cukup membuktikan, meski kurang memuaskan hasrat ingin tahu.
Tapi satu hal yang menarik dari kisah ini, ketika pemuda yang menyebut dirinya zaman now mengabadikan momen romatis sepiring berdua bersama pasangan, Muhammad justru jauh lebih dulu melakukan. Tidak banyak yang bisa membayangkan.
Lain cerita saat di kamar mandi. "Kalau Dia (Muhammad SAW) sedang dikamar mandi, Aisyah suka menyisir rambutnya," kata ustaz yang menjadi pemandu tausiyah. Sulit membayangkan paras rambut Muhammad ketika disisir oleh Aisyah.
Hingga di penghujung acara, banyak yang melepas senyum sembari membayangkan kisah-kisah itu. Ada yang tertawa penuh sentimen sambil melirik tajam. Tapi apa yang bisa kita pelajari dari sini? Muhammad adalah seorang manusia berdaya pikat tinggi. Bukan hanya dalam agama, tapi juga dalam relasi lawan jenis.
Kelahiran sosoknya yang diperingati setiap 12 Rabiul Awal tentu menjadi perenungan batin untuk mentasbihkan figur tunggal yang mengisi setiap pikiran, hati dan pandangan hidup. Sekurang-kurangnya itu menjadi harapan. Tak ubahnya berteduh di bawah pohon apel, lalu berharap pada buahnya "jatuhi aku", itu lah harapan.
Malam makin merangkak gelap. Suasana hujan lamat-lamat menyurut reda. Gemercik air yang menetes dari atap mulai mengendur. Angin sepoi-sepoi yang menghembus pelan menjadi cambuk agar segera menyesap kopi. *