Skip to main content

Membaca Surat dari RA. Kartini

Kartini, dua tahun silam saya membaca surat-surat mu dalam habis gelap terbitlah terang. Hari ini, saya membuka kembali surat-surat mu itu. Tulisanmu sungguh menarik, gagasanmu tak lapuk ditelan waktu.

Saya bisa membayangkan, andaikan kau hidup di masaku -yang disebut orang-orang sebagai era milenial karena saling terkoneksi, jempolmu akan menggores pada dinding facebook; twitter; instagram atau media sosial lainnya. Tidak lain, pasti tentang kegelisahan dan pemberontakanmu. Kau akan menggerutu disana.

Di lain sisi, saya tidak bisa membayangkan ketika kamu berswafoto di beranda rumah Jepara itu. Tanpa efek 360 kecantikanmu tetap memancar. Kalau tidak berlebihan, boleh lah di bilang mengalahkan kelembutan bintang iklan sabun mandi. Akh.

Kini, kau pun tak menyaksikan bagaimana semua orang mengharumkan namamu melebihi perempuan lainnya. Saya yakin sanjungan itu adalah rekaan mereka, dan bukan atas keinginanmu sendiri. "Selamat Hari Kartini," kata mereka suatu kali. Tentang ini, kau pernah tenar di berbagai tajuk surat kabar.

Kartini, saya juga tahu, banyak perempuan di negeri ini bersenandung menyanyikan lagu gugur bunga atau sajak yang menyalakan api, petasan yang membangunkan tidur. Saya tidak menampik kehadiran mereka, mereka sama sepertimu, juga melawan dengan cara mereka sendiri.

Lembar demi lembar kubaca suratmu itu dengan segudang pertanyaan, adakah yang salah dengan perempuan negeri ini? Kartini, saya membaca tulisanmu, dari situ kutemukan jawaban atas pertanyaanku ini. Tepat sekali jika kau menyandang gelar pahlawan, sebagai perempuan yang memikul sebagian catatan perjalanan negeri ini.

Terakhir, ku kutip ulang surat yang kau kirimkan kepada Profesor Anton dan Nyonya; "Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya...Tapi agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya menjadi Ibu, pendidik manusia pertama-tama,"

Tapi, Kartini, bukan sekali-sekali maksud untuk menyudutkan perempuan. Gelar kemahsyuran mu telah membuat perempuan negeri ini menggelora ingin sepertimu, engkau suri tauladan. Tapi kemerdekaan seperti apakah  yang diinginkan perempuan yang meneladani mu? kemerdekaan ala Chalidah Hanum kah?, ala Feminis, atau ala segala sama rata? Oh, kurasa yang terakhir ini Kartini zaman now, dan bukan kemerdekaan perempuan seperti yang kau perjuangkan dulu. *