Kasihan! Merindukan, tapi tak sampai menemukan. Ungkapan tentang semua akan indah pada waktunya sepertinya pas jika dilekatkan pada sosoknya.
Jumat malam. Kawasan Dayeuh Kolot, Bandung, tampak sepi. Di kejauhan hanya terdengar suara kodok dan gemercik gerimis malas yang berjatuhan pelan. Sementara itu, MR, yang menolak untuk disebutkan nama aslinya, bergegas membuat kopi.
Di teras berukuran 4x5 meter itu, secangkir kopi menyertai suasana untuk menghayati sebuah lagu yang istilahnya, tak langsung tapi kena.
"Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku/di dalam hari-hari mu/bersama lagi... Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya/menahan rasa ingin jumpa" Demikian bunyi penggalan liriknya. Nampak mewakili perasaan pria berusia 22 Tahun ini.
Sepintas, tiap liriknya menimbulkan tanya, tiap katanya bermakna ganda. Lalu, dengan rasa penasaran, tiba-tiba saja pertanyaan meluncur dari mulut MR:
"Sebenarnya saya belum tahu persis apa maksudnya ini lagu, bro?" katanya dalam dialek khas Mamuju.
"Rindu itu tak harus menemukan," jawabku asal menebak.
"Maksudnya?," sekali lagi pertanyaan meluncur ringan, seolah penasaran ingin tahu.
"Karena kalau ditemukan, rindu akan melahirkan kepuasan hingga kau menjadi berhenti mencari. Dan kalau sudah begitu berarti bukan lagi rindu," jawabku, seakan tahu banyak.
"PSK ko memang," tandas MR.
"Apa itu, Pekerja Seks Komersial?," kutanya balik.
"Bukan. Penuh Spirit Kerinduan (PSK),"
"Hahaha,"
***
Sebuah fragmen dialog yang sebetulnya menyimpan gagasan kalau rindu adalah kata ringan yang penuh keheningan, dan bukan menemukan. Sebab, perihal jarak adalah pembentuk, perihal perpisahan pula yang menjadikan itu terasa sempurna.
Kita terpisah, dan itulah pembentuknya. Kau harus setuju. Itu sebabnya, sangat boleh jadi setiap orang, hatinya, menyimpan satu hal. Seperti sebuah dinding yang menjadi benteng penghalang, kemudian tiba-tiba saja runtuh. Perihal runtuh, entah kapan. *