Skip to main content

Berkebun Dulu, Belajar Kemudian

(Dari kiri ke kanan). Nira, Mardah dan Tiara Usman.
Jika ada sekolah yang wajib anda kunjungi di Sulbar, itulah Sekolah Kolong. Betapa tidak, letaknya yang terpencil menyuguhkan keunikan tersendiri. Muridnya begitu mandiri. Tidak hanya dalam belajar, tapi juga dalam penghidupan.

Kamis (04/01/18). Cuaca dingin dan berembun mengawali pagi di Dusun Batu Papan, Desa Salulekbo, Kecamatan Topoyo, Mamuju Tengah. Sisa air hujan semalam masih membekas di jalanan sekitar kawasan Sekolah Kolong saat Tiara, gadis belia berusia 15 tahun ini, berjalan tanpa alas kaki mengenakan pakaian tidur.

Rambutnya yang masih acak-acakan belum kena sisir menandakan ia baru saja bangun tidur. Sebuah baskom di sampirkan ke pinggangnya. "Ayo kak, ikut ke kebun," ajak perempuan yang belakangan diketahui bernama lengkap Tiara Usman ini.

Seperti biasa, pagi itu, Tiara harus beranjak memetik sayur di kebun yang berjarak sekira 300 meter dari sekolahnya. Itu dilakoni untuk memenuhi kecukupan makan para murid Sekolah Kolong yang berjumlah sedikitnya 20 orang.

Sekolah ini memang unik. Sejak berdiri tahun 2004 silam, aktivitas memetik sayur sudah rutin dilakukan oleh para siswanya setiap pagi secara bergantian. Namun hari itu, Tiara bersama dua orang teman sebayanya, Nira dan Mardah -begitu biasa disapa, mendapat giliran.

Mula-mula, mereka menyusuri jalan setapak yang sempit, semakin melangkah semakin terdengar jeritan burung bersahutan. Sesekali terdengar kepak sayap seiring jatuhnya dedaunan dan buah-buahan.

Setelah itu, mereka kemudian menapaki pinggiran anak sungai Budong-budong. Medan yang licin dan bersemak membuat langkahnya tetap sigap memilih jalan, lincah dan tahu kemana kakinya harus berpijak agar tidak tersandung akar atau tertusuk ranting.

Kecergasan mereka meyakinkan kalau medan yang dilaluinya itu sudah dikuasai betul. Meski sesekali diantara mereka ada yang terkilir karena tanah gambut yang menjadi tempat pijakan licin dan berair. Namun itu bukan masalah.

Kontur wilayah dengan tanah basah, rawa gambut, pepohonan angker, sungai yang di huni buaya-buaya dan hutan dengan berbagai hewan predatornya telah menjadi sahabat yang setiap hari di temuinya.

"Petik yang disini dulu, jangan terlalu jauh kata pak guru," tegur Tiara mengutip pesan pak gurunya. Pak guru yang dimaksud adalah pemilik Sekolah Kolong bernama Aco Muliadi.

Di kebun, tampak sejumput kabut masih menggantung di perbukitan. Gumpalan awan putih yang menyaput sinar matahari pagi membuat suasana dibawahnya terasa sejuk. Saat itu juga, jemari Tiara cekatan memetik kangkung yang kemudian dilemparnya ke dalam baskom. "Kalau satu baskom begini cukup sampai makan malam," ungkap perempuan kelahiran 2002 ini.

Jarinya terus meraba daun dan akar kangkung untuk dipilah mana yang lebih muda. "Yang bagus pucuknya agak bening," ujarnya.

Kebun sayur yang dimaksud adalah tanaman yang tumbuh liar di pinggir sungai kecil. Lahan ini tidak luas dan tidak bertuan sehingga siapa pun bisa memetik sayuran yang tumbuh disitu sekadar dijadikan penyambung hidup. "Tanaman disini semuanya milik umum, kak," katanya.

Diantara tanaman itu ada sayur kangkung, dan sayur bambu. Di sudut lain, ada pohon pisang dan cokelat. Sisanya semak belukar dan alang-alang. Aliran air sungai membuat tanaman apa saja bisa subur bermekaran. "Ayo ini sudah cukup," cetus Tiara sembari mengajak kawannya pulang.

Setibanya di rumah, murid yang lain segera menyambut dan bahu membahu membersihkan sayuran yang akan digunakan sebagai menu sarapan sebelum aktivitas belajar dimulai. "Disini, berkebun juga bagian dari pembelajaran. Nanti kalau musim tanam tiba, baru lah mereka membantu orang tua di kebun asli. Di musim tanam itu anak-anak juga diliburkan sekolah," ungkap Aco Muliadi, saat ditanyai di sela-sela aktivitasnya, beberapa waktu lalu. 

Sekadar cerita, sekolah ini adalah satu-satunya tempat belajar untuk anak-anak petani. Ruang belajarnya di alam liar. Kadang juga di bawah kolong rumah panggung yang sekaligus berfungsi sebagai kandang ayam. Jorok dan bau.

Meski begitu, keterbatasan pada akhirnya akan melahirkan dua jenis manusia: menyerah kalah atau keluar sebagai penyintas kehidupan. Dan anak-anak Sekolah Kolong memilih keluar sebagai penyintas kehidupan. Luka yang dibuat orang lain atasnya telah membuat mereka cakap bergotong royong. 

Memang ada benarnya, kondisi yang jauh dari kemajuan modernitas kadangkala memicu kekhawatiran, jauh tertinggal oleh peradaban. Namun, bisa pula sebaliknya. Tapi sebagai anak yang tumbuh di era milenial mereka telah maju langkah demi langkah. Hanya harapan yang memberi kemungkinan.

Terang datang lebih cepat, matahari sudah tinggi. Dari kejauhan, panorama terpampang jelas di lereng bukit kawasan itu. Sementara, sayuran yang pagi tadi mereka petik menyisakan bekas yang menjadi sumber energi untuk hidup. Karena itu, seharusnya ada pepatah yang mengatakan; berkebun dulu, belajar kemudian. Bukan sebaliknya. *


Published in:
Newspaper Radar Sulbar (08/01/18)
Online Wacanainfo